Jumat, 07 Mei 2010

Tangga Piano


Di sebuah mal di Stockholm, seperti di mal-mal lain, orang lebih suka naik eskalator daripada tangga biasa. Pemilik mal lalu menjajal ide unik. Mereka memodifikasi sebuah tangga di mal itu menjadi seperti deretan bilah piano. Apabila orang menginjak anak tangga demi anak tangga, muncullah bunyi seperti jika bilah piano ditekan. Hasilnya? Orang jadi lebih tertarik untuk naik melalui tangga piano itu dan menikmati musiknya daripada menggunakan eskalator. Rupanya, kegembiraan bisa mengubah hal yang melelahkan jadi menggairahkan untuk dilakukan. Bangsa Israel menangis ketika menyimak pembacaan hukum Taurat, insaf akan pelanggaran mereka. Namun, Nehemia malah mendorong mereka agar mulai bersukacita.

Apakah Nehemia bermaksud mengatakan bahwa mereka tidak perlu bertobat? Tentu saja tidak. Hari itu—hari pertama bulan baru—hari yang kudus, dan patut didedikasikan untuk bersukacita di hadapan Tuhan. Mereka tidak perlu larut dalam kesedihan, dan justru perlu menerima sukacita Tuhan yang akan menguatkan mereka. Matthew Henry menulis, “Dukacita karena dosa seharusnya tidak menghambat kita untuk bersukacita di dalam Allah, tetapi malah membawa dan mempersiapkan kita untuk mengalaminya.”

Orang kristiani cenderung terkesan serius dan “muram”. Agak aneh sebetulnya. Sebagai umat yang memiliki Penebus, kita mestinya menjadi orang yang paling penuh sukacita, bukan? Kita mudah tertawa atau tersenyum, dan berkarya secara antusias, penuh rasa syukur. Sukacita itu akan menguatkan kita secara pribadi dan menular kepada sesama di sekeliling kita.

Sukacita selaras dengan kekudusan

Orang yang kudus sungguh-sungguh bersukacita.

Ayat Bacaan : Nehemia 8:3-13

CARA PANDANG TERHADAP BEBAN HIDUP

Bukan berat Beban yang membuat kita Stress, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut.

Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: "Seberapa berat menurut anda kira segelas air ini?"

Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr."Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya." kata Covey.

"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya.Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."

"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." lanjut Covey. "Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi". Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.

Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada dipundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi.

Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya...!! Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di relung hati kita.

Start the day with smile and have a good day........

Kamis, 06 Mei 2010

Hachiko: A Dog’s Story

Jenis Film : Drama - Semua Umur (general)
Produser :Richard Gere, Bill Johnson, Vicki Shigekuni Wong
Produksi : Inferno Production
Durasi : 104
Cast & Crew
Pemain : Richard Gere, Joan Allen, Sarah Roemer, Erick Avari,
Jason Alexander,
Sutradara :Lasse Hallstrom
Penulis : Stephen P. Lindsay


Film "Hachiko: A Dog’s Story" bercerita tentang seekor anjing yang sangat setia pada tuannya, melebihi batas kesetiaan anjing pada rata-rata.
Cerita ini bermula ketika Profesor Parker Wilson (Richard Gere) menemukan seekor anjing kecil di Stasiun Kereta Api Bedridge, Wonsocked, Amerika Serikat, tempat ia biasa pergi bekerja dan pulang dari kerja. Anjing berjenis akita itu kemudian diajaknya pulang ke rumah dan diberi nama Hachiko.

Parker dan istrinya Cate (Joan Allen) merawat anjing itu hingga Hachiko bertumbuh besar dan tiada tiada hari yang dilewatkan Parker tanpa bermain dengan Hachiko.Suatu hari, ketika Hachiko sudah beranjak dewasa, tanpa disangka ia mengikuti Parker ke stasiun saat Parker berangkat kerja. Parker terpaksa keluar dari kereta untuk memulangkan Hachico ke rumah.Namun, ternyata Hachico menjemputnya di stasiun pada pukul 17.00. Sejak saat itu Parker membiarkan Hachico mengantar-jemputnya di stasiun.Para pemilik kios, pedagang, dan pejalan kaki, serta "commuter" (orang yang bekerja secara "nglaju") tercengang-cengang dengan kelakuan Hachiko yang tidak seperti anjing pada umumnya.

Semua orang orang di sekitar Stasiun Bedridge menyayangi Hachiko dan selalu menyapa anjing itu layaknya sebagai manusia.Sampai pada satu hari, Hachiko tak menemukan kedatangan tuannya di stasiun pada pukul 17.00.Parker Wilson ternyata meninggal karena serangan jantung ketika ia tengah mengajar, sementara Hachiko sepertinya tak pernah mengerti perihal meninggalnya Parker.

Setelah kematian Parker, Cate menjual rumahnya dan meninggalkan Bedridge. Sementara Hachiko dipelihara oleh anak perempuan Parker, Andy Wilson (Sarah Roemer).Berulang kali Hachiko kabur dari rumah Andy untuk pergi ke stasiun, berharap ia akan menemukan tuannya kembali.


Andy selalu menjemput Hachiko di stasiun hingga pada akhirnya Andy merelakan Hachiko pergi. Hachiko tinggal di stasiun dan pada pukul 17.00, ia akan duduk di bundaran di depan stasiun, menanti kedatangan tuannya.Keunikan tingkah laku Hachiko itu menarik perhatian orang-orang di sekitar situ, bahkan tulisan mengenainya dimuat di koran-koran sehingga kisah anjing ini menjadi legenda. Sehingga orang-orang memberi makan Hachiko secara bergantian.


Kesetiaan Hachiko bertahan hingga tahun kesepuluh meninggalnya Parker. Sampai akhirnya pada musim dingin tahun ke sepuluh, Hachiko meninggal di bundaran stasiun pada tengah malam.Pembuatan film ini diinspirasi dari kisah nyata seekor anjing bernama Hachiko yang hidup dalam rentang waktup tahun 1923-1935 di Jepang.


Kisah yang disajikan dalam Hachiko: A Dog’s Story persis sama dengan kisah aslinya. Di Jepang, sebuah monumen berupa patung untuk mengenang kesetiaan Hachiko didirikan di depan Stasiun Shibuya.Seperti film tentang kesetiaan anjing lainnya, sebut saja "Lassie" (2005) dan "Marley and Me" (2009), film ini menyentuh sisi halus perasaan manusia. Bahkan bukan penggemar anjing pun yang menonton film ini bisa meneteskan air mata.


Kekurangan dalam film bergenre drama keluarga ini adalah banyaknya "scene" yang diulang dan adegan yang hampir mirip satu sama lain.Singkatnya jalan cerita namun berdurasi 90 menit membuat film ini cenderung membosankan pada pertengahan cerita. Namun, emosi sedih penonton mulai meningkat ketika mendekati akhir cerita.


Sutradara Lasse Hallstrom mengemas cerita ini dengan apik, dan alur yang cukup lambat.Kerja keras tim pelatih anjing pemeran Hachiko tergolong sukses sebab anjing tersebut seolah bisa menunjukkan emosi dan ekspresinya yang memesona penonton.


Film Box Office terbaru

Judul: Iron Man 2
Jenis Film: Action/fantasy
Produksi: Paramount Pictures
Durasi: 124 menit
Cast & Crew
Pemain: Robert Downey Jr, Don Cheadle, Mickey Rourke, Gwyneth Paltrow, Scarlett Johansson, Samuel L. Jackson, Sam Rockwell
Sutradara: Jon Favreau
Penulis: Justin Theroux
Produser: Kevin Feige, Avi Arad, Susan Downey


Dua tahun berlalu sejak film Iron Man pertama yang sukses besar secara kualitas dan komersialitas, kini sutradara Jon Favreau kembali dengan sekuelnya, Iron Man 2 yang jelas-jelas lebih besar bujet pembuatannya dibanding film pertama. Masih mengandalkan aktor flamboyan Robert Downey Jr sebagai sang bilyuner jenius Tony Stark, kisah film kedua ini langsung melanjutkan ending dari film pertamanya saat Stark mengumumkan secara resmi identitas gandanya di depan publik.

Konsekuensi yang dihadapi Tony sungguh tidak ringan dengan pemberitaan media massa mengenai identitasnya sebagai Iron Man. Kini semua orang tahu siapa dualitas identitas Tony dan banyak pihak berada dalam dua kubu, memberi sambutan positif dan mereka yang menilai negatif. Tony pun harus menghadapi pihak pemerintah AS yang diwakili Jenderal Stern. Tony menolak mentah-mentah untuk menyerahkan armor-nya untuk kepentingan pemerintah.

Di lain pihak, terbukanya identitas Tony memicu kehadiran pria Rusia Ivan Vanko yang berniat membalas dendam kepada Tony. Semua berawal beberapa dekade sebelumnya, saat ayah Ivan ternyata bekerja sama dalam proyek penciptaan senjata rahasia (dalam hal ini armor) bersama ayah Tony, Howard Stark. Karena ayah Ivan mengalami nasib yang sangat malang dan justru Howard meraih kesuksesan besar itulah, Ivan lalu menggunakan sisa-sisa proyek peninggalan ayahnya itu dan membuat armor baru yang dia kenakan sendiri. Dengan menyandang nama Whiplash, Ivan lalu menyatroni Tony yang tengah berpacu di lintasan sirkuit GP Monaco. Duel dahsyat terjadi, tapi Ivan akhirnya dipenjara. Situasi makin rumit bagi Tony karena armor yang dia kenakan nyaris membawa akibat fatal bagi hidupnya dan dia pun semakin hari semakin frustrasi. Di lain pihak, seorang pengusaha saingan Stark yakni Justin Hammer secara licik berhasil mengeluarkan Ivan dari penjara. Justin mengajak Ivan untuk bekerja sama dengannya membuat ratusan robot tempur baru dengan armor ciptaannya, bukan saja untuk menghancurkan kehidupan Stark, tapi kalau bisa menguasai negara sepenuhnya.

Film sekuel berdurasi 124 menit ini sebenarnya tak jauh berbeda pola penuturannya dengan film Iron Man pertama. Suasana drama dan konflik yang melanda kehidupan Tony Stark masih menjadi porsi dominan, bahkan terbilang begitu intens. Begitu beratnya cobaan yang melanda Tony, sampai dia melepaskan jabatan CEO perusahaan Stark Industries miliknya dan mengalihkan jabatan tersebut pada asisten kesayangannya, Pepper Potts. Kehadiran asisten baru Tony, Natalie Rushman pun makin menambah pusing Tony bukan hanya kecantikan dan keseksiannya, tetapi juga sisi misterius yang ada pada sosok wanita cantik berambut brunette itu.
Memang tak ada lagi yang bisa memainkan peran Tony Stark selain Robert Downey Jr. Aktor kaliber Oscar ini masih tetap meyakinkan dan penuh kharisma, bahkan semakin menyatu dalam perannya. Begitu hebat penjiwaan Downey Jr terhadap karakter Stark, sehingga membuat film ini terus terjaga konsistensinya sepanjang durasi. Musuh besar Tony kali ini yaitu Ivan Vanko diperankan oleh Mickey Rourke yang kariernya bangkit kembali paska mendapat nominasi Oscar lewat film The Wrestler dua tahun lalu. Rourke secara meyakinkan mampu melakoni perani ini berkat keseriusannya melatih tubuhnya hingga begitu kekar, juga karena kemahirannya dalam melafalkan aksen Rusia dengan fasih.

Yang justru mengejutkan adalah Sam Rockwell. Aktor muda ini begitu menyita perhatian karena gesture, mimik dan cara berbicaranya yang membuat peran Justin Hammer ini begitu mirip dengan Tony Stark. Bedanya, Hammer kalah cerdas dan kalah kaya dibanding Stark. Don Cheadle bermain sebagai Kolonel James Rhodes di sini, menggantikan Terence Howard di film pertamanya. Performa Cheadle lumayan berkesan, apalagi karena peran Rhodey demikian nama panggilan James Rhodes mendapat peningkatan lebih di sini dibanding di film pertamanya. Gwyneth Paltrow dan Scarlett Johanssen bermain standar, tetapi cukup baik untuk menambah konflik di film kedua ini.

Sutradara Favreau dan penulis skenario Justin Theroux (Tropic Thunder) memang berhasil memfokuskan kehidupan Tony Stark di film kedua ini menjadi lebih kompleks, bukan saja karena berbagai konflik yang tak henti-hentinya melanda Tony, tetapi juga dengan bujet yang lebih besar, Favreau dan seluruh kru film ini berhasil membawakan berbagai adegan aksi spektakuler lengkap dengan efek visual berkelas yang begitu pas dengan sinematografinya yang kali ini terkesan lebih muram dibandingkan film Iron Man pertama. Satu jam pertama film Iron Man 2 ini begitu menarik dengan berbagai karakternya yang seolah-olah tidak henti beradu akting, dan satu jam berikutnya, serangkaian adegan aksi yang begitu impresif takkan bisa membuat penonton berpaling dari layar. Kinerja penata kamera Matthew Libatigue dan tim efek visual yang dimotori supervisor efek visual pemenang Oscar Janek Sirrs (The Matrix) betul-betul pantas mendapat acungan jempol untuk hal ini.

Kesimpulannya, film Iron Man 2 ini tak jauh berbeda dengan kualitas film pertamanya, hanya saja jika di film Iron Man pertama, masih ada beberapa adegan drama kelewat panjang yang bisa membuat penonton terkantuk-kantuk, di film Iron Man 2, hal ini tak bakal terulang. Intensitas emosi yang begitu tinggi pada setiap karakter utama maupun pendukung di film ini, ditambah dengan bertaburannya adegan peperangan dahsyat antar armor yang begitu luar biasa, membuat Iron Man 2 memiliki aspek positif yang lebih baik ketimbang film pertamanya.